Terowongan Jadi Solusi Alternatif Konstruksi Jalan Hadapi Tantangan Alam dan Perkotaan
- 18 Sept 2018
- Berita/Umum
- 981 viewed
Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Marga Sugiyartanto menilai terowongan bisa menjadi salah satu pilihan teknik konstruksi jalan menghadapi tantangan kondisi alam maupun padatnya perkotaan. Indonesia sendiri sudah mulai memilih terowongan sebagai solusi pembangunan diantaranya melalui pengerjaan terowongan Moda Rapit Transit (MRT) di Jakarta dan terowongan di bagian jalan tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan, Jawa Barat (Jabar).
“Kita kedepan harus antisipasi sistem transportasi yang semakin dinamis dan majemuk, baik dalam perkotaan maupun antar kota yang kadang-kadang masalah AMDAL merupakan hal yang signifikan, karena ruas jalannya harus menerobos hutan lindung, maka pilihannya adalah jenis konstruksi bukan diatas tanah yang ada,” ucap Sugi usai membuka Seminar Nasional Terowongan 2018 di Bandung, Jabar pada Senin (17/9).
Pengalaman pembangunan terowongan untuk jalur MRT di Ibukota, menurutnya menjadi pengalaman berharga untuk mungkin bisa diterapkan di kota-kota besar di Indonesia seperti Bandung, Surabaya dan Medan. Meskipun teknik konstruksi ini masih relatif baru untuk para engineer nasional, namun Indonesia bisa merujuk atau belajar dari pengalaman Jepang, Swiss, Amerika Serikat, Inggris dan Perancis dalam konstruksi terowongan.
“Kita kirim SDM kesana, banyak orang-orang kita kan yang belajar untuk mengantisipasi kebutuhan 20-30 tahun kedepan,” terangnya.
Dia juga mencontohkan, konstruksi terowongan jalan tol Cisumdawu sepanjang 400 meter merupakan pengalaman berharga yang perlu dicatat permasalahan dan kendalanya untuk diterapkan di kedepan hari. Kesiapan pembangunan terowongan di Indonesia tidak hanya menyangkut pengetahuan dan teknologi, tetapi juga perlunya sosialisasi untuk pemahaman kepada masyarakat keunggulannya seperti kerusakan lingkungan serta polusi yang lebih minim.
Mengomentari permasalahan tingginya pembiayaan pembangunan terwongan, Dirjen Bina Marga mengatakan kendala tersebut dapat diatasi dengan pendanaan atau kerjasama pemerintah dengan badan usaha. Secara perhitungan kasar, disebutkan besaran investasi terowongan mencapai 5-6 kali lipat dibanding membangun jalan diatas tanah secara konvensional.
“Mahalnya karena pilihan konstruksi melalui terowongan adalah aspek harus dijamin betul-betul aman. Pelaku jasa konstruksinya yang punya kualitas, kapasitas, kompetensi, kemampuan keuangan yang signifikan, karena investasi yang tinggi. Namun seperti tadi dikatakan pak Direktur (Jembatan) makin panjang yang dibangun (harganya) makin kompetitif, main pendek makin mahal,” terang Sugi.
Sementara untuk aspek regulasi, Ditjen Bina Marga sudah melakukan konsultasi dengan Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sugi memandang memang diperlukan pedoman peraturan yang dibakukan misalnya bagaimana mengatur terowongan yang berada puluhan meter di bawah tanah, lalu bagaimana terowongan yang hanya 10 meter dibaah pegunungan baru dan juga bagaimana terowongan di bawah dasar lintasan sungai.
“Secara konsultatif sudah kita lakukan, mereka (BPN dan Kementerian LHK) yang akan bahas dan susun bersama, kami kasih masukan teknis,” sebutnya. (kompubm)