Berita

Beranda Berita BEDA DENGAN JEMBATAN STANDAR, INI PENJELASAN MENGENAI JEMBATAN KHUSUS
Beranda Berita BEDA DENGAN JEMBATAN STANDAR, INI PENJELASAN MENGENAI JEMBATAN KHUSUS

BEDA DENGAN JEMBATAN STANDAR, INI PENJELASAN MENGENAI JEMBATAN KHUSUS

  •  25 Okt 2023
  • Berita/Umum
  • 4032 viewed
Foto: BEDA DENGAN JEMBATAN STANDAR, INI PENJELASAN MENGENAI JEMBATAN KHUSUS

Jakarta – Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Marga melalui Balai Jembatan berupaya untuk terus meningkatkan penyelenggaraan keamanan jembatan khusus sesuai dengan Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 10 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Keamanan Jembatan dan Terowongan Jalan. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Balai Jembatan, Panji Krisna Wardana saat mengisi acara Podcast Bincang Jalan dan Jembatan Ditjen Bina Marga. 

 

Panji menjelaskan, kriteria jembatan khusus yang tertuang dalam Permen ini yakni jembatan dengan bentang utama lebih dari 100 meter; jembatan dengan pelengkung lebih dari 60 meter; jembatan gantung untuk kendaraan; jembatan beruji kabel; jembatan dengan total panjang lebih dari 3.000 meter; ketinggian pilar lebih dari 40 meter; serta memiliki kompleksitas struktur tinggi atau memiliki nilai strategis tinggi ataupun menggunakan teknologi baru.

 

“Jembatan khusus ini harus dapat persetujuan ijin dari Menteri PUPR baik desain, laik fungsi, dan masa operasi. Contohnya jembatan yang roboh akibat lahar panas di Lumajang dan diganti dengan jembatan bentang 140 m, nah karena lebih dari 100 m maka masuk kategori jembatan khusus. Lalu, jembatan pelengkung seperti Jembatan Wampu di Medan, selanjutnya untuk jembatan suspension contohnya Jembatan Barito. Untuk cable stayed itu contohnya Jembatan Pasupati di Bandung, sementara untuk jembatan dengan total panjang lebih dari tiga km contohnya adalah tol MBZ,” terang Panji.

 

Dia menambahkan, Balai Jembatan bertugas untuk melaksanakan evaluasi teknis dan pemantauan perilaku jembatan khusus dan terowongan, memberikan dukungan administrasi dan teknis kepada Komisi Keamanan Jembatan dan Terowongan Jalan (KKJTJ), serta memberi layanan advis teknis melalui koordinasi dengan Direktorat Pembangunan Jembatan.

 

KKJTJ dibentuk oleh Menteri PUPR karena tragedi runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara pada 2011. Anggota KKJTJ terdiri atas kumpulan para ahli jembatan baik dari unsur akademisi, praktisi, profesional, maupun birokrat. Tugasnya adalah untuk mengkaji terhadap evaluasi keamanan, memberikan rekomendasi mengenai keamanan, serta menyelenggarakan inspeksi jembatan dan terowongan jalan. 

 

“Awal Mula KKJTJ ini karena kisah kelam di dunia konstruksi, tepatnya pada tanggal 26 November tahun 2011, saat ada kegiatan penanganan pemeliharaan dengan jembatan sedang dilalui normal, tiba-tiba jembatan mengalami keruntuhan, dan akibatnya memakan banyak korban,” ujarnya.

 

Kepala Balai Jembatan menerangkan, penentuan desain jembatan dilakukan di awal, dan yang paling menentukan desain apa yang digunakan adalah panjang bentang jembatannya.

 

“Contoh kalau jembatan dengan bentang yang paling panjang hingga dua km menggunakan tipe suspensi, kalau pelengkung bentangnya antara 60 sampai 150 meter, sementara untuk tipe rangka 100 hingga 120 meter. Untuk cable stayed di Indonesia yang terpanjang saat ini 400 meter,” jelasnya.

 

Lebih lanjut Panji menjelaskan, untuk menentukan desain jembatan yang digunakan, apakah jembatan standar ataupun jembatan khusus, dapat dilihat dari desain awal. Untuk jembatan khusus diperlukan investigasi atau analisis khusus, seperti analisis probabilitas seismic hazard, analisis pushover, analisis aerodinamika mengacu pada konsensus KKJJTJ, sedangkan untuk jembatan standar tidak diwajibkan untuk melakukan analisis khusus. 

 

Sedangkan pada tahap konstruksi, untuk jembatan khusus dilakukan evaluasi pelaksanaan konstruksi terhadap kesesuaian pelaksanaan konstruksi dan perencanaan teknis yang disetujui oleh Menteri PUPR, sedangkan untuk jembatan standar tidak diperlukan hal tersebut. 

 

Kepala Balai Jembatan mengatakan, jembatan itu dalam desain ditentukan umurnya. Di Indonesia, jembatan khusus didesain memiliki umur 100 tahun berdasarkan RSNI T-03-2005 tentang Perencanaan Stuktur Baja untuk Jembatan. Namun, terdapat aturan yang terbaru dimana jembatan didesain dengan umur 75 tahun untuk periode gempa. 

 

“Layaknya manusia, agar tetap sehat harus rutin dilakukan pengecekan kesehatan. Nah, dalam pemeliharaan jembatan yang terdiri dari banyak elemen, maka banyak yang harus dicek dan dievaluasi. Agar umur jembatan sampai 75 tahun, harus ada inspeksi yang dilakukan tiap tiga sampai lima tahun oleh engineer khusus. Selain itu, juga dipasang sensor untuk pemantauan real time,” pungkas Panji. (fqn/gir)