Perkembangan Teknologi Asbuton untuk Perkerasan Jalan
- 27 Sept 2021
- Artikel/Artikel
- 5472 viewed
Jembatan di Jiangsu, Cina, itu tampak indah di pandang mata. Jembatan itu seakan membelah lautan dan menghubungkan dua pulau. Aspal di jembatan itu terlihat mulus sehingga siapa pun yang melintasinya dengan kendaraan bisa melaju kencang dan cepat tiba di tujuan.
Tak ada yang menyangka jika aspal yang melapisi jalan itu bukanlah aspal minyak. Aspal yang digunakan itu adalah Aspal Buton yang berasal dari Pulau Buton Indonesia. Aspal yang sering disebut Asbuton itu juga digunakan untuk jalan tol di Cina, jalan di provinsi Shanghai, dan jalan di provinsi Anhui, Cina.
Di tanah airnya, Indonesia, Asbuton belum digunakan secara optimal. Asbuton seakan terpinggirkan sebab pemerintah dan kontraktor lebih suka menggunakan aspal minyak yang diimpor dari negara lain.
Padahal, Asbuton adalah salah satu karunia dari Tuhan kepada bangsa Indonesia. Di dunia ini hanya beberapa negara yang memiliki deposit aspal alam. Asbuton merupakan sumber daya alam Indonesia yang sangat potensial, baik dari segi jumlah depositnya yang cukup melimpah maupun dari segi karakteristiknya yang lebih unggul dibanding aspal minyak.
Asbuton memiliki peluang dapat dimanfaatkan sebagai pengganti aspal minyak. Asbuton harusnya dapat digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, khususnya rakyat Buton.
Seperti halnya aspal minyak, Asbuton dengan deposit sekitar 663 juta ton juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengikat pada perkerasan jalan. Kebutuhan aspal minyak untuk perkerasan jalan di Indonesia sekitar 1,2 juta ton/tahun.
Dari kebutuhan tersebut yang dapat dipenuhi oleh aspal nasional (aspal Pertamina) baru sekitar 600.000 ton (50%) sedangkan kebutuhan sisanya dipenuhi oleh aspal impor seperti aspal Esso, aspal Shell, aspal dari Timur Tengah, dan banyak lagi.
Apabila Asbuton sebanyak 663 juta ton, atau dengan anggapan kandungan aspal rata-rata sekitar 20% maka jumlah deposit Asbuton tersebut setara dengan sekitar 132 juta ton aspal murni, maka dengan mensubstitusi aspal impor sebanyak 600.000 ton/tahun berarti Indonesia akan mencapai swasembada aspal selama lebih dari 220 tahun.
Namun memanfaatkan Asbuton tidaklah mudah karena perlu kajian, penelitian, dan pengembangan terlebih dahulu dengan saksama. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia. Sebab siapa lagi yang harus peduli pada pemuliaan potensi alam Indonesia ini selain bangsa Indonesia sendiri.
Bangsa lain mungkin akan peduli jika sudah ada peluang bisnis bagi mereka atau timbal balik lainnya, sedangkan kesejahteraan rakyat Buton hanya menjadi pertimbangan terakhir. Pemerintah Indonesia tentu sudah sangat menyadari akan hal ini sehingga wajar jika pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat secara gigih dan terus-menerus mendorong pemuliaan Asbuton.
Penggunaan Asbuton sebagai bahan pengikat pada perkerasan jalan ternyata tidak semudah penggunaan aspal minyak yang sudah dikenal oleh para pelaksana jalan. Meski hasil penelitian selama ini menunjukkan bahwa penggunaan Asbuton sebagai bahan pengikat pada perkerasan jalan sudah berhasil baik, namun tidak mudah untuk diaplikasikan secara luas pada kegiatan pembangunan dan pemeliharaan jalan.
Ini dikarenakan adanya kendala pada proses manufaktur untuk menghasilkan Asbuton, sesuai dengan karakteristik Asbuton yang disyaratkan. Selain itu, ada juga kendala-kendala pada saat perencanaan dan pelaksanaan penghamparan perkerasan jalan Asbuton sehingga tidak sesuai dengan pedoman atau spesifikasi yang telah tersedia.
Banyak pihak terkait yang beranggapan bahwa perencanaan dan pelaksanaan perkerasan jalan dengan Asbuton lebih sulit dibanding aspal minyak. Aspal minyak memiliki kadar bitumen 99% dengan karakteristik yang konsisten serta sudah diaplikasikan bertahun-tahun sehingga para pihak terkait sudah sangat memahaminya.
Sedangkan Asbuton memiliki kadar bitumen yang lebih bervariasi dan rendah (18 - 35%), mengandung mineral yang tinggi (65 - 82%) serta banyak pihak terkait yang belum memahami teknologi perkerasan jalan yang menggunakan Asbuton yang memang masih baru.
Asbuton juga mudah menggumpal selama penyimpanan, terutama yang mengandung bitumen dengan nilai penetrasi tinggi, sehingga perlakuannya pada unit pencampur aspal tidak semudah perlakuan terhadap agregat yang selalu berupa butiran lepas.
Asbuton yang menggumpal lebih sulit dimasukkan ke dalam alat pencampur dengan menggunakan ban berjalan (conveyor) dan juga di dalam alat pencampur lebih sulit tercampur dengan homogen.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, produsen Asbuton sudah diharuskan menjamin produknya agar berbentuk butiran lepas pada saat digunakan. Hal ini tidak mudah sehingga produsen Asbuton juga masih perlu melakukan penyempurnaan produknya.
Memahami pedoman pelaksanaan atau spesifikasi Asbuton juga tidak mudah. Apalagi jika masih berupa pedoman atau spesifikasi khusus (interim) karena masih harus disempurnakan berdasarkan masukan-masukan dari para pelaksana atau praktisi di lapangan.
Masukan dapat berupa saran perbaikan ataupun kendala yang terjadi dan harus dipecahkan para pengkaji dan produsen Asbuton. Oleh karena itu komunikasi harus selalu terbina antara pengkaji, produsen, praktisi, dan berbagai pihak terkait lainnya sampai diperolehnya pedoman dan spesifikasi Asbuton yang sempurna.
Bentuk komunikasi yang baik dan perlu terus dilakukan yaitu dapat berupa pelatihan, pendampingan teknis, advis teknis, workshop, seminar, konsultasi, dan hal-hal lain semacamnya oleh pemerintah (Kementerian PUPR), akademisi, asosiasi pengusaha maupun pihak terkait lainnya.
Dengan dorongan pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sejak tahun 1980-an hingga sekarang, pemanfaatan Asbuton selalu menjadi isu nasional. Meskipun ada pasang surut antara optimis dan pesimis.
Jika tak ada kepedulian dan kegigihan tinggi, yang oleh Menteri PUPR Basuki Hadimuljono disebut sebagai militansi yang tinggi, besar kemungkinan Asbuton sudah lama ditinggalkan baik oleh pemerintah, para pengusaha, maupun para pengkaji dan para pemulia Asbuton lainnya.
Bila dilihat dari paradigma pengembangan teknologi pemanfaatan Asbuton, sampai saat ini setidaknya ada dua era (rentang waktu) yaitu era sebelum tahun 2000 yang disebut era teknologi Lasbutag (Lapisan Asbuton Beragregat) dan era setelah tahun 2000 yang disebut era bauran teknologi Asbuton yang dicirikan dengan berkembangnya berbagai cara penggunaan Asbuton.
Teknologi perkerasan jalan Asbuton yang banyak dikenal pada era Lasbutag, selain Lasbutag itu sendiri, adalah Latasbusir, Superlasbutag, Asbumix, Teknobutas dan Bitumen Mastik Asbuton. Pada prinsipnya semua teknologi tersebut memiliki kemiripan sebagai teknologi campuran beraspal dingin aspal cair (cutback asphalt) yang dicirikan dengan digunakannya kerosin (minyak tanah) dalam campuran.
Selain itu ada juga teknologi lainnya yaitu Latasbum (Lapis Atas Asbuton Murni) atau disebut juga NACAS (Non-Agregatet Cold Asbuton Sheet), AHAS (Agregated Hot Asbuton Sheet) dan NAHAS (Non- Agregated Hot Asbuton Sheet). Teknologi- teknologi tersebut pada masa itu kurang berkembang dan tidak diaplikasikan secara luas sehingga tidak banyak dikenal.
Pada era Lasbutag, produk yang digunakan adalah Asbuton butir dari deposit di Kecamatan Kabungka. Dari Asbuton Kabungka ini terdapat beberapa jenis produk Asbuton butir yang diklasifikasikan berdasarkan kandungan bitumennya.
Adapun nilai penetrasi bitumen Asbuton (tingkat kekerasan bitumen dalam Asbuton) pada masa itu tidak menjadi dasar diklasifikasi jenis Asbuton karena relatif sama yaitu maksimum 10 dmm. Jenis-jenis Asbuton di era Lasbutag adalah sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Teknologi perkerasan jalan Asbuton di era Lasbutag belum berkembang hingga mencapai tingkat kualitas dan ekonomis yang setara dengan teknologi perkerasan jalan aspal minyak. Oleh sebab itu para perintis dan inisiator teknologinya pun, khususnya perusahaan di bidang Asbuton, banyak yang mengalami kerugian karena perusahaan tidak dapat mencapai titik impas pendapatan (Break Event Point, BEP).
Para perintis personal, banyak di antaranya sampai akhir hayat tidak dapat melihat diterapkannya Asbuton pada perkerasan jalan secara luas, berkualitas, dan ekonomis. Sedangkan yang masih aktif, banyak pula yang sudah beralih ke bidang usaha lain selain Asbuton.
Meski teknologi Asbuton di era Lasbutag belum berhasil eksis, namun tetap harus mendapat apresiasi sebab usaha yang sudah dilakukan tetap bermanfaat setidaknya menjadi rujukan pengembangan teknologi Asbuton pada era selanjutnya.
Dengan mengkaji apa yang sudah terjadi di era Lasbutag maka telah dirancang pengembangan berbagai teknologi Asbuton di era setelah tahun 2000 atau era bauran teknologi Asbuton.
Pada era ini teknologi perkerasan jalan Asbuton yang dikembangkan tidak terpaku pada satu jenis teknologi saja melainkan semua jenis teknologi perkerasan jalan beraspal yang sudah ada pada aspal minyak dicoba untuk dimodifikasi hingga diperoleh teknologi perkerasan jalan Asbuton padanannya.
Selain itu, teknologi Asbuton yang dikembangkan juga tidak hanya terpaku untuk jalan dengan kelas lalu lintas ringan saja sebagaimana halnya Lasbutag, melainkan untuk semua kelas jalan mulai dari ringan, sedang, hingga berat.
Nilai penetrasi bitumen pada bahan baku (yang masih mengandung 5% minyak ringan) sekitar 180 dmm. Namun jika Asbuton ini diolah terlebih dahulu menjadi Asbuton butir Tipe B 50/30 dengan menurunkan kandungan minyak ringan hingga tinggal sekitar 2%, maka kandungan bitumen menjadi sekitar 27% dan nilai penetrasi menjadi sekitar 50 dmm.
Asbuton olahan Tipe B 50/30 ini dapat diaplikasikan pada berbagai jenis teknologi perkerasan jalan Asbuton dengan tidak memerlukan tambahan bahan peremaja (pelunak) karena bitumen dengan nilai penetrasi 50 dmm sudah mendekati nilai penetrasi aspal minyak umum digunakan pada perkerasan jalan.
Teknologi Asbuton yang sudah dikembangkan saat ini diyakini telah dapat membuat Asbuton mampu bersaing dengan aspal minyak. Inovasi teknologi Asbuton di bidang perkerasan jalan sudah mulai dapat memecahkan kebuntuan dalam memanfaatkan Asbuton.
Hal ini ditunjukkan dengan mulai banyak digunakannya teknologi perkerasan jalan Asbuton, baik di jalan nasional maupun jalan daerah, terutama di daerah yang tidak jauh dari Pulau Buton. Laporan yang diterima Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Buton Selatan, dan Kabupaten Wakatobi sudah sejak tahun 2016 mengklaim bahwa semua perkerasan jalan di masing-masing daerah tersebut sudah 100% menggunakan Asbuton.
Hal ini diperkuat dengan Keputusan Gubernur Sulawesi Tenggara Nomor 412 Tahun 2020 yang mewajibkan penggunaan Asbuton pada pembangunan dan pemeliharaan jalan provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tenggara.
Bertambahnya perusahaan-perusahaan produsen Asbuton, baik skala nasional maupun daerah, juga turut mengindikasikan bahwa teknologi jalan Asbuton saat ini sudah mulai menarik karena memiliki nilai ekonomi bagi para pengusaha.
Sampai saat ini terdapat 23 perusahaan produsen Asbuton yang tergabung dalam Asosiasi Pengembang Aspal Buton Indonesia (ASPABI) dengan kapasitas total sekitar 865.100 ton/tahun. Jumlah perusahaan ini jauh lebih banyak dibanding pada era Lasbutag yang hanya sekitar 5 perusahaan saja.
Berbagai jenis produk, jenis teknologi dan kelas lalu lintas jalan yang sesuai dari Asbuton yang sudah diaplikasikan serta sudah dilengkapi dengan spesifikasi dan pedoman pelaksanaannya pada era bauran teknologi Asbuton adalah sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2.
Fungsi Asbuton pada masing-masing jenis teknologi perkerasan jalan Asbuton pada prinsipnya ada dua yaitu sebagai bahan tambah (aditif) untuk meningkatkan kualitas aspal minyak dan sebagai bahan substitusi (pengganti) aspal minyak baik sebagian maupun seluruhnya.
Sebagai bahan pengganti aspal minyak, seberapa banyak jumlah aspal minyak yang dapat digantikan oleh bitumen Asbuton untuk tiap-tiap jenis teknologi perkerasan jalan Asbuton dapat dilihat pada bagan yang ditunjukkan pada gambar di bawah:
Berdasarkan gambar di atas, tampak jika tujuan penggunaan Asbuton adalah untuk menggantikan sebanyak-banyaknya aspal minyak maka prioritas teknologi perkerasan jalan Asbuton yang harus ditingkatkan penggunaannya adalah LPMA, Cape Buton Seal, Butur Seal (Gambar 3) dan Asbuton Murni karena dapat mensubstitusi aspal minyak 100%.
Sedangkan CPHMA (Gambar 4) dan Hot Mix Asbuton B 50/30 (Gambar 5) masih menggunakan aspal minyak dengan tingkat substitusi maksimum 75%. Teknologi- teknologi tersebut, kecuali Hot Mix Asbuton B 50/30 dan Asbuton Murni, umumnya untuk jalan dengan lalu lintas ringan sampai sedang (kelas IV dan V) yang banyak terdapat di jalan daerah. Sehingga penggunaan perkerasan jalan Asbuton untuk jalan daerah tampaknya lebih efektif dalam meningkatkan penggunaan Asbuton.
Tahun 2020 Asbuton juga dapat digunakan untuk jalan dengan lalu lintas sangat berat (kelas II) yang umumnya berada di jalan nasional. Tujuan dari penggunaan Asbuton pada jalan dengan lalu lintas berat ini lebih tepat jika disebut untuk meningkatkan kualitas perkerasan jalan agar lebih baik dari jalan Hot Mix Aspal Minyak pen 60. Jalan menjadi lebih tahan terhadap kerusakan deformasi permanen (alur pada jejak roda kendaraan) sehingga dapat memikul beban kendaraan lebih banyak.
Teknologi Asbuton yang termasuk kedalam katagori ini adalah Hot Mix Asbuton B 5/20 di China (Gambar 6), Hot Mix Asbuton Semi Ekstraksi (Gambar 7) dan Hot Mix Asbuton Pra-campur (Gambar 8). Selain itu ada juga teknologi Gussasphalt Asbuton untuk lapis perkerasan beraspal di atas lantai baja jembatan yang dikembangkan bekerja sama dengan Jepang, tapi masih dalam tahap uji coba (Gambar 9).
Pada teknologi ini, Asbuton yang digunakan adalah Asbuton dari deposit Kabungka yang mengandung bitumen keras dengan nilai penetrasi sekitar 5 dmm. Dalam campuran beraspal panas, bitumen Asbuton akan meningkatkan kekerasan aspal minyak. Selain itu, karena fungsi utamanya sebagai aditif maka jumlah penggunaan Asbuton relatif sedikit yaitu sekitar 3% terhadap berat campuran atau hanya sekitar 10% mensubstitusi aspal minyak.
Sumber : BINEKA, Vol 1 Edisi Oktober 2020