Topik Keselamatan Jalan : Mayoritas Blackspot Hanya Perlu Penanganan Berbiaya Murah
- 21 Feb 2022
- Artikel/Artikel
- 6832 viewed
Optimalisasi pemeliharaan rutin dan koordinasi dengan Forum Lalu Lintas adalah kunci suksesnya penanganan blackspot!!
Direktorat Jenderal Bina Marga memandang bahwa hal Keselamatan Jalan menjadi isu penting seperti tercantum dengan adanya indikator keselamatan pada Renstra Bina Marga 2020-2024.
Kegiatan-kegiatan terkait keselamatan jalan seperti Audit Keselamatan Jalan, Uji Laik Fungsi Jalan dan Investigasi Kecelakaan perlu didalami kembali serta didiseminasikan lebih sering. Diskusi monitoring blackspot menunjukkan bahwa mayoritas rekomendasi penanganan blackspot berupa penanganan minor rambu dan marka yang dapat ditangani dengan pemeliharaan rutin dan koordinasi antar instansi. Artikel ini mengulas mengenai hal-hal tersebut.
Renstra Bina Marga 2020-2024 mengamanatkan adanya Indikator Kinerja Program baru yaitu Rating Keselamatan Jalan Nasional dari 3,51 poin di 2020 dengan target 2,82 poin pada Tahun 2024. Rating Keselamatan Jalan Nasional dihitung berdasar pada angka kecelakaan per populasi dan angka blackspot per populasi. Diskusi pada tulisan ini tidak secara khusus membahas perhitungan rating keselamatan tersebut, namun lebih menekankan bahwa penanganan blackspot pada periode ini juga merupakan indikator keberhasilan program Dirjen Bina Marga seperti halnya kondisi kemantapan jalan dan tingkat aksesibilitas.
Selain itu, latar belakang lain akan pentingnya topik keselamatan adalah adanya draft Peraturan Presiden tentang RUNK LLAJ (Rencana Umum Nasional Keselamatan Lalu Lintas Angkutan Jalan) 2021-2040.
Perpres RUNK LLAJ tersebut melanjutkan RUN Keselamatan Jalan Decade of Action 2010- 2020 dan sejalan dengan RPJPN, RPJMN, dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s). Hal menarik dari perpres RUNK-LLAJ 2021-2040 adalah adanya perubahan program pada Pilar II yang tadinya 7 program menjadi 14 program.
Beberapa program yang baru misalnya: pemeringkatan keselamatan jalan, fasilitas pejalan kaki dan persepeda, pengendalian fungsi rumija, penanganan perlintasan kereta api sebidang, lajur khusus angkutan massal, pembatasan akses sepeda motor, dan pembatasan kecepatan.
Blackspot Vs Jalan Tidak Berkeselamatan
Sebelum masuk pada pembahasan blackspot atau Daerah Rawan Kecelakaan, perlu diperjelas perbedaan antara blackspot dengan lokasi kecelakaan menonjol pada jalan tidak berkeselamatan. Hal ini menjadi penting terkait penggunaan terminologi blackspot karena bisa jadi ada pendapat yang mencampuradukkan antara jalan sub-standar (tidak berkeselamatan) dengan lokasi blackspot.
Pada dasarnya penentuan blackspot harus berdasar pada data kecelakaan (resmi dari kepolisian). Tanpa adanya data kecelakaan resmi suatu lokasi tidak dapat didefinisikan sebagai blackspot. Sedangkan jalan tidak berkeselamatan bisa ditentukan tanpa adanya data kecelakaan, dengan berdasar pada kondisi geometrik dan perlengkapan jalan.
Karenanya, suatu jalan meskipun secara fisik (geometrik, kondisi, dan perlengkapan) jalan memenuhi standar jika terdapat banyak kecelakaan maka jalan tersebut tetap didefinisikan sebagai blackspot. Sebaliknya jika suatu ruas jalan tidak memenuhi standar secara geometrik, kondisi dan perlengkapan namun tidak ditemukan adanya laporan terjadi kecelakaan maka ruas jalan tersebut tidak bisa didefinisikan sebagai blackspot, alih-alih disebut sebagai jalan tidak berkeselamatan (negasi dari Jalan Berkeselamatan).
Blackspot didefinisikan sebagai suatu segmen (kira-kira sepanjang 500 m) yang sering terjadi kecelakaan dengan AEK (Angka Ekivalensi Kecelakaan) > 30 yang dihitung berdasar data kecelakaan selama 2 tahun. Hal ini mengacu pada Keputusan Kakorlantas Polri No. 43/2016 tentang Pedoman Penentuan dan Pengkajian Blackspot. AEK dihitung berdasarkan data kecelakaan dari Kepolisian yang terhimpun dalam sistem IRSMS (Indonesian Road Safety Management System).
Data kecelakaan kemudian dihimpun dalam jarak 500 meter, dan dihitung jumlah kecelakaan yang terjadi selama 2 tahun. Tiap kecelakaan bergantung pada keparahan korban mendapat skor bobot yang berbeda, yaitu 10 poin untuk korban meninggal, 5 poin luka berat, dan 1 poin luka ringan. Skor tersebut dijumlahkan untuk suatu segmen sepanjang 500 meter, dan bila skor AEK > 30 maka segmen tersebut dapat didefinisikan sebagai blackspot. Tiap poin dihitung berdasar kejadian kecelakaan, jadi 2 kecelakaan dengan korban meninggal dunia masing-masing 5 orang dihitung menjadi 20 poin.
Setelah memahami definisi tersebut, maka pertanyaan terkait seperti “apakah yang dimaksud dengan survei blackspot?
Apakah ada pedoman survei blackspot?” dapat lebih dipahami kembali. Definisi blackspot harus mengacu data kecelakaan, karenanya blackspot tidak ditentukan melalui survei, namun melalui analisa perhitungan data kecelakaan. Survei atau tinjauan lapangan yang dilakukan adalah dalam rangka survei kondisi jalan, topografi dan surveisurvei lain dalam rangka penyusunan DED (Detail Engineering Desain) penanganan jalan pada lokasi blackspot yang mana, survei-survei tersebut sudah tersedia pedomannya.
Hal lain adalah survei/tinjauan lapangan pada lokasi blackspot biasanya dilakukan dalam rangka Audit Keselamatan Jalan ataupun Inspeksi Keselamatan Jalan yang juga sudah tersedia pedomannya. Tinjauan lapangan dapat pula dalam rangka investigasi kecelakaan pada lokasi jalan pasca terjadi kecelakaan lalu lintas.
Selain blackspot terdapat juga kebingungan yang sering terjadi terkait topik keselamatan jalan yakni: (a.) Uji Laik Fungsi Jalan; (b.) Audit Keselamatan Jalan (AKJ); (c.) Inspeksi Keselamatan Jalan (IKJ); (d.) Investigasi kecelakaan transportasi; (e.) Monitoring dan evaluasi jalan yang berkeselamatan.
Uji Laik Fungsi Jalan, seperti diatur oleh Permen PUPR No.11 tahun 2010 tentang Tata Cara Uji Laik Fungsi Jalan adalah suatu pengujian untuk memastikan suatu jalan laik untuk dioperasikan untuk masyarakat umum pengguna jalan.
Laik Fungsi Jalan adalah kondisi suatu ruas jalan yang memenuhi persyaratan teknis kelaikan untuk memberikan keselamatan bagi penggunanya, dan persyaratan administratif yang memberikan kepastian hukum bagi penyelenggara jalan dan pengguna jalan, sehingga jalan tersebut dapat dioperasikan untuk umum.
AKJ sesuai dengan Pedoman Pd T 17-2005B didefinisikan sebagai bagian dari strategi pencegahan kecelakaan lalu lintas dengan suatu pendekatan perbaikan terhadap kondisi desain geometri, bangunan pelengkap jalan, fasilitas pendukung jalan yang berpotensi mengakibatkan konflik lalu lintas dan kecelakaan lalu lintas melalui suatu konsep pemeriksaan jalan yang komprehensif, sistematis, dan independen.
Pedoman tersebut juga mensyaratkan bahwa AKJ dilaksanakan pada tahapan berikut: a) tahap pra rencana (pre design stage), b) tahap draft desain (draft engineering design stage), c) tahap detail desain (detailed engineering design stage), dan d) audit pada tahap percobaan beroperasinya jalan atau pada ruas jalan yang telah beroperasi secara penuh (operational road stage).
Setelah jalan beroperasi, maka audit tersebut dilaksanakan melalui terminologi/konsep Inspeksi Keselamatan Jalan. Mengenai IKJ sampai saat ini belum ditemukan pedomannya (hanya terdapat Modul Pelatihan IKJ Tahun 2011 yang disusun Ir. AB Syailendra).
Modul tersebut tentu berbeda dengan Pedoman Pelaksanaan Inspeksi Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan PerDJHubdar SK5637/2017 yang mengatur mengenai inspeksi kendaraan dan terminal.
IKJ didefinisikan sebagai pemeriksaan sistematis dari jalan atau segmen jalan untuk mengidentifikasi bahaya-bahaya, kesalahankesalahan dan kekurangan-kekurangan yang dapat menyebabkan ecelakaan. Intinya, IKJ dilaksanakan dengan semangat yang sama dengan AKJ namun dilaksanakan ada saat jalan sudah beroperasi dan sudah diluar masa pemeliharaan.
Investigasi kecelakaan transportasi sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2013 tentang Investigasi Kecelakaan Transportasi yang digawangi oleh KNKT (Komisi Nasional Keselamatan Transportasi). Monitoring dan evaluasi jalan berkeselamatan lebih fokus pada manajerial pemantauan pencapaian rencanarencana jalan berkeselamatan, misalnya pada level makro yaitu pemantauan dan evaluasi pencapaian target renstra ataupun target rencana aksi. Penggunaan nomenklatur investigasi hanya ada pada investigasi kecelakaan, bukan investigasi keselamatan jalan.
memerlukan biaya besar. Secara peraturan, rambu dan marka jalan ini juga menjadi konsentrasi dan kewenangan dari instansi yang menyelenggarakan prasarana lalu lintas yaitu Ditjen Perhubungan Darat dan Dinas Perhubungan Provinsi/Kab/Kot. Peraturan Dirjen HUBDAT Nomor 4303 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Pemeliharaan Jalan menjelaskan bahwa pemeliharaan perlengkapan jalan berikut: (a) Alat Pemberi Isyarat Lalu lintas, (b) rambu lalu lintas, (c) marka jalan, (d) Alat Penerangan Jalan, (e) guardrail, (f) cermin tikungan, (g) delineator, (h) pita penggaduh, (i) Alat Pengendali Pengguna Jalan merupakan tugas
Koordinasi Antar Instansi
Pertanyaan dan konsentrasi lainnya yang sering muncul dari balai pelaksana adalah apakah ada anggaran/paket khusus terkait penanganan blackspot? (seperti halnya paket khusus penanganan pada longsoran). Saat ini, penganggaran penanganan blackspot dapat menggunakan skema dana preservasi seperti pemeliharaan rutin, preservasi long segmen, holding, maupun pelebaran jalan. Membuat anggaran untuk penanganan blackspot bergantung pada rekomendasi penanganan yang perlu dilaksanakan.
Mayoritas penanganan blackspot dapat ditangani dengan perbaikan marka dan rambu, serta perlengkapan jalan/lalu lintas lainnya yang tidak dari instansi penyelenggara sarana dan prasaran lalu lintas jalan. Ditambah lagi pada Permenhub PM 96 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan kegiatan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dijelaskan bahwa “pada kondisi dan alasan tertentu, pengadaan dan pemasangan perlengkapan jalan dapat dilaksanakan oleh penyelenggara jalan dengan persetujuan tertulis Perhubungan Darat”. Karenanya, meskipun pengadaan dan pemasangan perlengkapan jalan dapat diadakan dari Bina Marga, namun koordinasi dengan instansi terkait adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan.
Pentingnya koordinasi dengan forum lalu lintas diatur dalam PP Nomor 37 Tahun 2011 tentang Forum Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan menjelaskan bahwa Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (FLLAJ) adalah wahana koordinasi antar instansi penyelenggara lalu lintas dan angkutan jalan. Pada tingkat daerah, forum ini dibentuk melalui SK Gubernur/Bupati/Walikota.
FLLAJ terdiri atas 7 unsur utama, dan 4 unsur tambahan sesuai dengan isu yang dibahas. Unsur utama adalah (a) instansi bidang sarana dan prasarana LLAJ (Perhubungan Darat/Dishub), (b) instansi bidang jalan, (c) instansi bidang industri, (d) institusi pengembangan teknologi,
(e) Kepolisian, (f) badan usaha di bidang LLAJ, dan (g) asosiasi perusahaan angkutan umum. Sedangkan unsur tambahan adalah (h) perguruan tinggi, (i) tenaga ahli bidang LLAJ, (j) lembaga swadaya masyarakat di bidang LLAJ, dan (k) pemerhati LLAJ.
Karenanya, alih-alih berkutat dengan permasalahan/hambatan anggaran, sebaiknya para penyelenggara jalan lebih memperhatikan dan menambah daya upaya pada ranah koordinasi antar instansi baik secara horizontal maupun vertikal.
Potret Blackspot Tahun Anggaran 2021
Subdit Keselamatan dan Keamanan Jalan dan Jembatan bersama dengan para PPK terkait dan P2JN dan BB(B)PJN, selama bulan April-Juli 2021 telah membahas titik per titik blackspot secara detail. Dari pembahasan tersebut diketahui karakteristik umum blackspot dan penanganan-penanganan yang sering direkomendasikan. Lebih lanjut mengenai gambaran dari 321 titik blackspot yang menjadi target penanganan Tahun Anggaran 2021 adalah sebagai berikut. Jalan nasional bertipe 4/2 D antarkota menjadi konfigurasi jalan nasional yang paling aman. Tipe jalan yang menjadi lokasi blackspot umumnya berlokasi jalan nasional bertipe 2/2 UD antarkota, 4/2 UD antarkota dan 4/2 D dalam kota.
Sebanyak 59,9% blackspot Tahun Anggaran 2021 berada pada jalan bertipe 2/2 UD, dan 37,5% berada pada jalan nasional bertipe 4/2 D dalam kota, dan hanya sekitar 3% yang bertipe 4/2 UD antarkota. Hal ini dapat disimpulkan bahwa usaha mengurangi kecelakaan pada titik blackspot tidak bisa tuntas bila pada jalan nasional (arteri primer) dengan kecepatan rencana yang cukup tinggi bila masih berkonfigurasi 2/2 UD, apalagi dengan lebar lajur yang sub-standar dan kualitas bahu yang tidak forgiving.
Selain pada ruas jalan, 27% blackspot berlokasi pada simpang; 17% pada simpang tiga dan 11% pada simpang empat. Umumnya, simpang- simpang yang bermasalah tersebut terganggu oleh adanya jalan akses ataupun properti yang berada di sekitar simpang, selain juga pada beberapa kasus ditemui simpang dengen geometrik (pulau jalan ataupun marka) yang membingungkan pengendara.
Terkait alinemen jalan, sekitar 30% blackspot Tahun Anggaran 2021 berada pada tikungan, dan 9,6% blackspot berlokasi pada tanjakan/turunan. Hal ini berarti sekitar 40% blackspot terkait langsung dengan geometrik jalan yang memang karena keterbatasan lahan (misal samping jurang) ataupun karena terrain pegunungan. Penanganan blackspot terkait alinemen idealnya berupa penanganan geometrik yang bersifat mayor. Namun demikian, secara jangka pendek, rambu dan marka serta perbaikan bahu cukup efektif untuk mengurangi tingkat kecelakaan.
Rona lingkungan sisi jalan juga cukup mempengaruhi keselamatan jalan. Lebih dari 64% blackspot dipengaruhi oleh adanya akses properti yang cukup ramai seperti sekolah, pertokoan, tempat ibadah, dan perkantoran. Pada jalan antarkota, 32% blackspot teridentifikasi berada pada lokasi dekat dengan jalan akses perumahan warga. Hal ini mengingatkan kita kembali akan teori filosofi dasar terkait hierarki jalan, dimana jalan arteri menghubungkan PKN ke PKN dan secara hierarki harus diteruskan oleh Jalan Kolektor dan Jalan lokal. Pelanggaran atas konsep hierarki jalan dimana jalan arteri langsung terhubung dengan jalan lingkungan apalagi persil berdampak langsung pada tingkat keselamatan jalan.
Lebih lengkap mengenai karakteristik lokasi blackspot dijelaskan pada tabel berikut;
Berdasarkan tabel tersebut mayoritas blackspot dapat ditangani dengan biaya murah, karena dari pembahasan 321 titik blackspot Tahun Anggaran 2021 ditemukan bahwa 62% titik blackspot perlu perbaikan marka dan 76% titik direkomendasikan perbaikan/penataan rambu lalu lintas. Rekomendasi yang juga cukup sering adalah perlunya perbaikan bahu jalan (40%) dimana banyak ditemukan bahu yang beda tinggi, belum diperkeras, kurang lebar, ataupun perkerasan yang rusak. Mengenai perbaikan bahu ini juga terkait erat dengan kondisi drainase jalan.
Hasil monitoring menunjukkan bahwa banyak jalan nasional di luar Jawa dengan marka yang sudah mengelupas, belum marka kuning, dan bahkan marka tepi (bahu) yang belum ada. Sering juga ditemukan pasca pekerjaan overlay tidak langsung dilanjutkan dengan pemarkaan. Memastikan marka jalan dalam kondisi terlihat dan dapat dimengerti sangat penting terkait keselamatan jalan. Marka membantu pengguna jalan untuk menavigasi lalu lintas, memberitahu akan adanya resiko bahaya dan memberikan informasi utama mengenai berkendara.
Studi yang dikumpulkan Babic et al (2020) menjelaskan pentingnya marka jalan terhadap perilaku pengendara dan keselamatan jalan.
Kualitas dan properti dari bahu jalan yang kurang berkeselamatan menjadi hal penting untuk diperhatikan. Banyak bahu jalan yang beda tinggi, belum diperkeras, maupun terlalu sempit dan banyak ditumbuhi rumput. Bahu jalan penting karena berperan terkait drainase jalan dan sebagai lajur darurat.
Riset Heimbach (1974) menemukan bahwa pada jalan antarkota 2/2 UD dengan bahu diperkeras memiliki tingkat kecelakaan yang jauh lebih rendah daripada jalan dengan bahu yang tidak stabil. Lebih lengkap terkait rekomendasi penanganan yang sering diperlukan dijelaskan pada tabel berikut.
PRT 19 Tahun 2011 tentang persyaratan teknis jalan mensyaratkan jarak antar simpang ataupun jarak antar jalan masuk paling dekat adalah 0,5 km (untuk jalan kolektor).
Hal itu diperkuat oleh Permenhub PM 96 Tahun 2015 tentang Manajemen Rekayasa Lalu Lintas yang menyatakan persyaratan fasilitas berputar arah (u-turn) harus memenuhi ketentuan: jarak antar bukaan sekurang-kurangnya 500 meter pada jalan kolektor di dalam kota.
Penegakan aturan tersebut bisa mengurangi titik konflik pada jalan dalam kota. Riset Lu, John & Dissanayake, Sunanda & Castillo, Nelson. (2001) menjelaskan bahwa pengendalian u-turn terbukti dapat mengurangi tingkat kecelakaan.
Penutup
Optimalisasi preservasi jalan dan koordinasi dengan Forum Lalu Lintas adalah kunci suksesnya penanganan blackspot!! Item-item pada pemeliharaan rutin dirasa cukup untuk melaksanakan pemeliharaan dan perbaikan rambu dan marka yang sangat vital bagi keselamatan jalan. Tidak hanya itu koordinasi antar instansi sangat penting dilakukan, mengingat bahwa keselamatan lalu lintas tidak hanya dapat ditangani dari aspek fisik lingkungan jalan saja, namun juga aspek kendaraan dan perilaku pengguna jalan dan masyarakat sekitar.
Apakah forum LLAJ sudah berjalan efektif di daerah anda? Hal ini akan menjadi topik pada tulisan selanjutnya. Artikel ini dapat mengingatkan pentingnya penyelenggara jalan harus selalu bertindak profesional. Perlu diingat juga akan pasal mengenai konsekuensi hukum untuk penyelenggara jalan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, jika tidak memperdulikan penyediaan standar keselamatan jalan. Komunikasi dan koordinasi antar pemangku kepentingan lalu lintas angkutan jalan merupakan hal kunci yang tidak boleh dilupakan.
Sumber : BINEKA, Vol. 2 Edisi Oktober 2021