Menilik Clear Zones di Indonesia
- 02 Juni 2022
- Artikel/Artikel
- 5415 viewed
Selama Sepuluh Tahun terakhir ini, pemeliharaan jalan di Indonesia mulai serius untuk memperhatikan masalah keselamatan manusia dalam berlalu lintas. Pemerintah dituntut untuk memperhatikan masalah keselamatan sebagai prioritas nasional. Berdasarkan data Rencana Umum Nasional Keselamatan Tahun 2011 menyebutkan bahwa, jumlah korban kecelakaan lalu lintas paling banyak ada pada usia produktif (22- 50 tahun) dan kerugian akibat kecelakaan lalu lintas diperkirakan sekitar 3% dari total PDB Indonesia.
Seperti akhir-akhir ini, sering terjadi kecelakaan kendaraan akibat pengemudi kehilangan kendali yang menyebabkan kendaraan keluar dari jalur lalu lintas. Permasalahan terjadi karena kendaraan tidak berhenti begitu saja. Namun hampir 30% disebabkan faktor prasarana dan lingkungan, sehingga menyebabkan kendaraan menabrak rumah warga, terguling, menabrak pohon, serta paling fatal adalah kendaraan tertusuk ketika menabrak pagar pengaman. Pagar pengaman sebenarnya difungsikan sebagai perlindungan pada kendaraan, maka idealnya sisi jalan harus bebas dari benda yang memiliki potensi membahayakan ketika kendaraan lepas kendali. Konsep inilah yang kemudian disebut dengan clear zone atau zona bebas, selengkapnya terlihat pada gambar berikut,
Konsep Zona Bebas Secara Internasional
Pada tahun 2005, proyek RISER mendefinisikan zona keselamatan (yang biasa disebut zona bebas) sebagai total area batas sisi jalan yang diukur mulai dari marka tepi jalur lalu lintas yang disediakan untuk mengakomodir kesalahan pengemudi agar tetap selamat. Zona bebas terdiri dari bahu jalan, recoverable slope, non- recoverable slope dan/atau area run-out yang kosong. Penentuan lebar zona bebas tergantung pada volume lalu lintas, kecepatan dan geometri sisi jalan (Thompson, dkk, 2006).
Federal Highway Administration atau biasa disingkat dengan FHWA (2009) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan selamat dalam mengakomodasi kesalahan pengemudi adalah dapat berhenti atau dapat mengendalikan kembali kendaraannya.
Sementara menurut American Association of State Highway and Transportation Officials atau biasa disingkat AASHTO (2018) merumuskan zona bebas secara komprehensif sebagai area diluar jalur lalu lintas yang tidak terhalang dan dapat dilalui untuk mengendalikan kembali kendaraannya yang telah melewati jalurnya.
Berbeda dengan studi dan pedoman sebelumnya, Austroads (2020) memiliki pendekatan bahwa penetapan zona bebas dapat membuat seolah- olah bahaya sisi jalan di luar zona bebas diperbolehkan. Dalam studinya pada tahun 2018, Austroads menekankan potensi kendaraan untuk menabrak bahaya sisi jalan sejauh 20–30 m dari jalan masih ada.
Pada awalnya, perencana jalan raya di Amerika menyediakan zona bebas sejauh 9 meter untuk jalan di perdesaan yang memiliki lalu lintas dan kecepatan yang tinggi. Namun pada jalan yang dibangun di atas timbunan, ternyata kendaraan yang lepas kendali memerlukan lebih dari 9 meter.
Sebaliknya pada jalan perkotaan dengan lalu lintas kecil atau pada area dengan kecepatan rendah, zona bebas sejauh 9 meter akan terkesan terlalu berlebihan dan memerlukan justifikasi.
Oleh karena itu, konsep zona bebas didasarkan pada tiga variabel yaitu LHR (Lalu Lintas Harian Rata-Rata), kecepatan, dan kelandaian sisi jalan. Pada jalan dengan kecepatan rencana 110 km/ jam dan LHR lebih dari 6000 kendaraan, zona bebas yang diperlukan dapat mencapai lebar 14 meter. Sementara untuk jalan dengan kecepatan rencana kurang dari 60 km/jam dan LHR di bawah 750 kendaraan, lebar zona bebas yang diperlukan hanya 2-3 meter (AASTHO, 2011).
Bagaimana Zona Bebas Di Indonesia?
Zona Bebas sebagai ruang bebas untuk melengkapi badan jalan di atur berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan (selanjutnya disebut PP 34/2006), ruang bebas ditujukan untuk melengkapi badan jalan sebagai upaya menunjang pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan serta pengamanan konstruksi jalan. Ruang bebas memiliki lebar sesuai dengan lebar badan jalan. Sementara pada Peraturan Menteri PU No. 19 Tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan (selanjutnya disebut PermenPU 19/2011), ruang bebas ditentukan sebagai
“…ruang yang dikosongkan dari segala bentuk bangunan atau penghalang atau bentuk muka tanah yang dapat mencederai berat pengguna jalan atau memperparah luka akibat kecelakaan kendaraan yang keluar dari badan jalan. Ruang bebas diukur mulai dari batas terluar badan jalan sampai dengan batas luar Ruwasja. Penyelenggara jalan harus mengusahakan tersedianya ruang bebas.”
Tidak sesuainya dalam mengartikan ruang bebas ini mungkin disebabkan karena adanya perbedaan pemahaman batas pemenuhan ruang jalan. Pada tahun 2006 penyelenggara jalan di Indonesia memahami ruang bebas hanya sampai batas pada pemenuhan ruang yang mendatar atau disebut dengan ruang horizontal yang dibutuhkan untuk arus lalu lintas kendaraan saja. Sedangkan pada tahun 2011 pemahaman ruang bebas adalah ruang yang berada di luar badan jalan.
Melihat dari uraian mengenai zona bebas dalam pedoman atau kajian dari beberapa negara, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian ruang bebas dalam PermenPU 19/2011 lebih mendekati pada maksud dan tujuan dari zona bebas tersebut. Kata “mendekati” digunakan untuk menekankan bahwa zona bebas di dalam PermenPU 19/2011 memiliki perbedaan mendasar pada titik acuan awal pengukuran lebarnya.
Dalam peraturan tersebut, zona bebas yang diukur dari batas terluar badan jalan seharusnya diukur mulai dari marka tepi luar jalur lalu lintas. Karena pada umumnya lalu lintas kendaraan tidak melaju pada bahu jalan, sehingga bahu jalan dapat dimasukkan sebagai bagian dari zona bebas.
Untuk memperjelas perbedaan istilah ruang bebas dalam PP 34/2006 dan PermenPU 19/2011, maka koreksi bahasa pada istilah ruang bebas dalam PermenPU 19/2011 direkomendasikan menjadi zona bebas.
Untuk selanjutnya ruang bebas akan lebih diarahkan sebagai definisi istilah horizontal clearances yakni jarak yang disediakan untuk kebebasan ruang gerak kendaraan ke objek tetap vertikal di sisi jalan, baik ketika berjalan maupun ketika parkir.
Ketentuan zona bebas masih harus dilakukan penyesuaian dengan bagian-bagian jalan diantaranya Ruang Manfaat Jalan (Rumaja), Ruang Milik Ditambah dengan fakta bahwa bahu jalan bukan sebagai jalur lalu lintas, maka sebaiknya lebar zona bebas di PermenPU 19/2011 perlu untuk direvisi menjadi pengukuran dimulai dari marka tepi luar jalur lalu lintas ke batas luar Rumija, sehingga pada jalan raya arteri (jalan raya utama) yang datar dengan lalu lintas kurang dari 61.000 kendaraan zona bebas yan harus diusahakan tersedia adalah 4,5 meter (terlihat pada Gambar 3).
Jalan atau Ruang Milik Jalur (Rumija) dan Ruang Pengawasan Jalan (Ruwasja) agar dapat memenuhi aspek legalitas sehingga tidak ada kendala dalam penerapan zona bebas seperti penentuan lebar, kelandaian sisi jalan atau kemiringan sisi jalan, dan keberadaan drainase.
Dari sisi penentuan lebar, komitmen penyediaan zona bebas mulai dari luar bahu jalan sampai dengan batas terluar Ruwasja pada kenyataannya tidak sesuai dengan keberadaan patok Rumija yang terbuat dari besi atau beton yang dipasang di antara Rumija dan Ruwasja.
Lebar tersebut memang dinilai masih kurang untuk jalan raya arteri yang dominan menjadi jalan dengan lalu lintas padat dengan kecepatan 60km/ jam. Namun, untuk pemenuhan zona bebas tidak dapat terlepas dari keberadaan patok jalan, tiang rambu, tiang penerangan jalan, saluran drainase tepi jalan, utilitas (daya guna), dan bangunan pelengkap jalan serta benda-benda lain seperti pohon yang berpotensi tertabrak oleh kendaraan jika kehilangan kendali.
Menghadapi Keterbatasan Pemenuhan Zona Bebas
Konsep “Forgiving roadsides” diresmikan sebagai sebuah konsep jalan yang memberikan toleransi kesalahan pengemudi, yang merupakan hasil pengalaman dan penelitian puluhan tahun. Berbeda dengan self-explaining roads yang lebih mencegah kesalahan pengemudi, forgiving roadsides menawarkan konsep yang mengurangi terjadinya kecelakaan karena pengemudi lepas kendali yang mungkin diakibatkan oleh kelalaiannya sendiri, kondisi jalan yang tidak bagus, dan/atau kerusakan kendaraan serta meminimalkan tingkat fatalitas apabila sampai terjadi kecelakaan.
Forgiving roadsides mengarahkan perencanaan jalan dengan memastikan apabila ketersediaan zona bebas tidak mencukupi maka dalam rangka mengurangi tingkat keparahan dari kecelakaan dapat dipilih beberapa desain. Dalam urutan preferensi, dimulai dari menghilangkan objek bahaya, memindahkan objek bahaya ke lokasi yang lebih jarang untuk ditabrak, mendesain ulang objek bahaya agar mudah rusak ketika ditabrak, dan yang terakhir melindungi objek bahaya dengan pagar pengaman atau peredam tabrakan (AASHTO, 2011).
Oleh karena itu, pada kasus pemenuhan kebutuhan zona bebas di jalan arteri yang kurang keberadaan patok jalan, maka patok jalan yang tidak dapat dihilangkan dan dipindahkan seharusnya dapat dimodifikasi kembali agar kendaraan tetap aman ketika menabrak patok jalan.
Akan tetapi, Austroads (2020) menyatakan bahwa memitigasi objek bahaya di dalam zona bebas saja dianggap tidak cukup memberikan gambaran bahaya sisi jalan secara keseluruhan. Adanya peningkatan jumlah kendaraan hilang kendali yang menabrak objek di luar zona bebas telah mengubah persepsi tentang zona bebas yang dapat menjamin keselamatan pengendara.
Austroads menyimpulkan bahwa konsep zona bebas sudah tidak relevan pada lalu lintas padat dan menetapkan zona bebas sebagai salah satu jenis penanganan dalam mitigasi bahaya sisi jalan yang belum tentu menjadi pilihan pertama dari sekian jenis penanganan.
Seperti membuat pagar pengaman, membuat pita penggaduh (shoulder rumble), menghilangkan objek bahaya, memindahkan objek bahaya ke lokasi yang lebih jarang untuk ditabrak, mengurangi tingkat keparahan dari dampak yang ditimbulkan oleh objek bahaya, memperbaiki delineasi jalan, dan menerima resiko dari objek bahaya yang tidak bisa ditangani apabila frekuensi dan tingkat keparahannya rendah.
Penutup
Hingga saat ini, clear zone atau zona bebas di Indonesia belum memperhatikan variabel jumlah lalu lintas harian (LHR), kecepatan rencana, dan kelandaian sisi jalan. Selain itu, mitigasi objek bahaya di dalam zona bebas juga masih belum sepenuhnya tertuang di dalam peraturan pemerintah termasuk pertimbangan teknis, lingkungan, dan ekonominya. Diperlukan keputusan dari pemerintah terkait kewajiban penyediaan zona bebas atau hanya menjadi salah satu opsi penanganan bahaya sisi jalan. Keputusan ini selanjutnya akan menentukan arah kebijakan-kebijakan penyelenggaraan jalan terutama tentang penanganan bahaya sisi jalan dalam menghadirkan jalan yang berkeselamatan sesuai dengan karakteristik kecelakaan di Indonesia.
Sumber : BINEKA, Vol. 2 Edisi Oktober 2021.