Home Logo

Selain Terowongan Kembar, Geofoam Menjadi Inovasi Teknologi Keren yang Digunakan di Tol Cisumdawu.


Minggu, 03/03/2024 00:00:00 WIB |   Umum/ |   507

Bandung, 3 Maret 2024 - Siapa yang tidak kenal dengan jalan tol Cileunyi – Sumedang – Dawuan atau yang lebih nge-hits dengan sebutan tol Cisumdawu. Jalan tol dengan panjang 61,6 kilometer ini merupakan satu-satunya tol dengan ciri khas twin tunnel atau terowongan kembar pertama di Indonesia dengan memiliki panjang 472 meter serta terowongan ini juga didesain dengan umur 100 tahun.

Selain ciri khas twin tunnel, di tol Cisumdawu juga terdapat ciri khas dan inovasi teknologi lainnya, yakni Geofoam. Geofoam adalah bahan ringan yang terbuat dari Expanded Polystyrene (EPS) dan telah terbukti efektif dalam berbagai proyek konstruksi. Penggunaan Geofoam menjadi inovasi yang digunakan dalam pembangunan Jalan Tol Cisumdawu, selain efisien, teknologi ini juga ramah lingkungan.  

Kepala Satuan Kerja Pelaksana Jalan Bebas Hambatan (PJBH) Provinsi Jawa Barat Yuanita Kiki Sani, menerangkan kalau teknologi Geofoam tersebut diterapkan pada pembangunan Seksi 5A di Desa Cipamekar, Kecamatan Conggeang, Kabupaten Sumedang. Adapun alasan penerapan inovasi teknologi Geofoam ini disebabkan kondisi bentang alam berupa perbukitan yang bergelombang sedang hingga terjal dengan kondisi geologi berdasarkan Peta Geologi Lembar Arjawinangun (Djuri, 2011) berada pada perbatasan Formasi Qyu yang didominasi oleh produk vulkanik muda dan Formasi Tms yang mengandung batu lempung (Clay Shale) dari Formasi Subang.

Kiki menjelaskan, pada Seksi 5 tepatnya di KM 400+200 dalam peta geologi berada dalam Kawasan Qyu, namun data penyelidikan tanah menunjukkan lapisan tanah vulkanik hanya bertebal 2-5 meter dari permukaan dan di bawahnya terdapat lapisan Clay Shale. “Clay Shale ini adalah batuan sedimen berbutir halus yang terbentuk dari konsolidasi mineral lempung yang mempunyai karakter kembang susut yang besar ketika terjadi perubahan air,” katanya.

“Tanah akan mengembang (swelling) pada kondisi basah dan akan menyusut (shrinkage) pada kondisi kering. Keberadaan Clay Shale membuat tanah menjadi tidak stabil, apalagi di lokasi yang berlereng terjal sehingga rawan terjadi bencana longsor,” tutur Kiki lagi.

Melihat kondisi tersebut, salah satu alternatif penanganan yang dapat dilakukan adalah pengurangan beban timbunan hingga platform aman dan mengganti timbunan dengan material yang lebih ringan yaitu Geofoam. Selain itu, bahan konstruksi berupa busa polistirena ini juga memiliki kekuatan dan kepadatan yang tinggi.

Geofoam tidak akan berubah secara kimiawi walaupun ditimbun tanah maupun air dalam jangka waktu yang lama, selain itu kemudahannya bisa dipotong dan dibentuk yang sangat membantu meringankan pekerjaan konstruksi karena Geofoam dapat dibentuk untuk menyesuaikan kebutuhan geometri timbunan. Geofoam juga tidak membutuhkan banyak material penunjang seperti Retaining Wall sehingga pekerjaan konstruksi lebih cepat dibandingkan dengan pekerjaan menggunakan material tanah. karena kepadatannya yang rendah, timbunan Geofoam dapat dibangun dengan kenaikan tegangan yang mendekati nol, sehingga memungkinkan timbunan dibangun dengan penurunan yang dapat diabaikan.

“Untuk kondisi tanah lunak, Geofoam tidak memerlukan pre-loading ataupun perbaikan tanah dengan menggunakan metode PVD (Drainase Vertikal) maupun penimbunan bertahap (Staged Construction). Teknologi ini juga pernah digunakan dalam pembangunan Flyover Merak dan Cipali,” jelas Kiki.

Meski efektif dan efisien, menurut Kiki dalam pengaplikasiannya, salah satu kekurangan penggunaan EPS Geofoam dibandingkan dengan material tanah timbunan tanah biasa adalah harga Geofoam yang relatif mahal. Hanya saja, kemudahan pengaplikasian dan pengerjaan menggunakan Geofoam jauh lebih efisien secara waktu pelaksanaan sehingga dapat menjadi salah satu opsi penanganan. Terlebih lagi, material Geofoam yang tahan terhadap panas dan hujan membuat pengerjaan konstruksi tidak terpengaruh oleh cuaca.

“Penggunaan material EPS Geofoam perlu sangat hati-hati, karena termasuk kedalam material yang mudah terbakar. Selain itu juga mudah larut jika terkena kontak dengan zat kimia berbahan dasar minyak. Paparan terhadap sinar UV dalam jangka waktu lama juga terbukti dapat membuat material geofoam mengalami penurunan kualitas (menjadi getas),” jelas Kiki.

Penggunaan geofoam sebagai pengganti material timbunan di lokasi rawan longsor pada Jalan Tol Cisumdawu Seksi 5A, diharapkan dapat menjadi pembelajaran kedepannya, sehingga penggunaan Teknologi EPS Geofoam ini dapat menjadi alternatif penanganan pada lokasi pekerjaan dengan kondisi rawan bencana longsor, tanah lunak, gambut, dan tanah bermasalah lainnya.

“Penggunaan geofoam saat ini mulai banyak diaplikasikan pada konstruksi terkait transportasi, karena selain mampu mendukung beban kendaraan bermotor, juga dapat secara signifikan mengurangi beban pada abutment jembatan,” tuntas Kiki.